Thaharah

Minggu, 29 April 2018

SIKAP DAN PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP FILSAFAT ISLAm



 BAB II
   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata prancis “orient” yang berarti “timur”. Kata orientalisme berarti ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut orientalis atau ahli ketimuran. Orientalis ialah segolongan sarjana-sarjana barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia timur dan kesastraannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya, dan ilmu-ilmunya[1]
. Apa yang kita lihat dikalangan sejarahwan barat pada abad ke 18 dan tahun-tahun pertama abad ke19 ketika member catatan terhadap barat dan peradaban arab secara umum, merupakan pengambilan dari sumber-sumber latin. Sedangkan orang timur sendiri tidak mampu, karena mereka terbelenggu dengan persoalannya, untuk menghidupkan
Ajaran-ajaran meraka dan tidak mampu untuk membangkitkan warisan mereka sendiri. Pada perempatan pertama dari abad ini gerakanorientalisme mengadakan aktivitas yang besar, yakni: i) dengan berangkatnya sebagian ilmuan barat ketimur ii) melakukan study di perguruan-perguruan timur iii) berhubungan secara dekat dengan kehidupan pemikiran dan spiritualitas timur. Pengaruh orientalis di kalangan orang-orang barat tidak hanya berhenti disini, bahkan menjalar sampai ketimur. Maka banyak orang timur : i) mengambil pendapat-pendapat mereka ( barat), ii) menerjemahkan sebagian buku-buku mereka, iii) mulai terpengaruh oleh langkah mereka bahkan mengambil alih peranan dalam menghidupkan kejayaan mereka. Pada perempatan abad terakhir ada gejala, baik di mesir atau di ibukota-ibukota timur yang lain, lahirnya : i) studi-studi yang meniru langkah yang dilakukan oleh para orientalis ii) meneyempurnakan apa yang telah mereka mulai, atau iii) menemukan sebagaian hal yang mereka hilangkan.[2]

B.     Sejarah Lahirnya Orientalisme
Ø  Perang Salib
Perang salib antar umat islam Timur daan Kristen Barat (1096-1270. Hubungan antara Barat dan Islam saat itu terjalin lebih intens walaupun dalam bentuk yang tidak mengenakkan, yaitu peperangan yang berjalan secara berantai. Namun sisi positif dari hubungan tersebut dirasakan oleh orang Barat, semangat ilmiah mereka muncul oleh kekaguman mereka yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam, yang sebenarnya di luar dugaan mereka. Semangat inilah yang mendorong upaya penerjemahan berbagai literatur keilmuan Islam dalam bahasa Latin secara besar-besaran. Karena informasi yang  faktual dan pengalaman tertentu dalam hubungan keduanya pemahaman Barat terhadap umat Islam pada periode ini berubah menjadi faktual. Orang Barat secara mulai mengenal dan mengagumi prinsip keilmuan Islam, terutama di bidang filsafat dan ilmu alam.[3]
Ø  Fase Perkembangan Orientalisme
a.       Fase pertama : Missionaris & Anti Islam (dimulai abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah membeberkan kerancuan kedua agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropa Kristen dalam perang Salib juga memicu semangat anti Islam ini. Gerakan ini sejalan dengan misionaris.Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa, Jean Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim bahwa Nabi Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan seabagainya.
b.      Fase kedua : Kajian dan Cacian (abad ke 17 dan 18 M). Fase kedua ini terjadi bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Sebagai contoh Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti oleh Jacob Goluis (1596-1667), dan Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. G sale (1677-1736) penterjemahan Al-Quran tahun 1734 menulis Muhammad adalah pembohong dan Islam adalah agama palsu. Edward Gibbon (1737-1794) menulis bahwa Muhammad adalah “Pembohong dan pada hari-hari terakhirnya cenderung pada seksualitas dan individualistis”.
c.       Fase ketiga: Kajian & Kolonialisme(abad ke- 19 dan ¼ pertama abad ke- 20M). Fase ini bersamaan dengan era kolonialisme Barat ke negara-negara Islam  dalam bidang politik, militer, kultural dan ekonomi. Tidak sedikit pula dari karya-karya berbahasa Arab dan Persia diedit dan diterjemahkan lalu diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Periode ini juga ditandai dengan  lahirnya pusat-pusat studi Keislaman. Tahun 1822 didirikan Society Asiatic of Paris, di Paris.
d.       Fase keempat: Kajian &Politik (paruh ke 2 abad ke 19). Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untukkepentingan perancang kebijakan politik dan juga bisnis. Pada fase ini kajian orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Beberapa contohnya adalah Cantwell Smith, On Understanding IslamSelected Studies, the Hague, 1981, 296) yang menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi baginya, Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. Sir Hamilton Gibb juga menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, namun Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi (Pre-Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Theological Review, 55, 1962, 269).
Abdel-Malek, (Palestina), menyatakan bahwa kemerdekaan paska Perang Dunia II menghasilkan krisis pada orientalisme sebab materinya sangat Eropah sentris dan perlu direvisi.
Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. Meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Apa saja yang dikatakan oleh orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris. Sebab, Barat memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi. Sikap rasial itu merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Ringkasnya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme dan persengketaan kultural (cultural hostility). [4]
C.    Orientalis terhadap filsafat islam
                        Barat (orientalist) berbeda pendapat dalam menganalisa eksistensi filsafat Islam. Pada umumnya orientalist abad ke-19 menolak adanya filsafat itu, sedang mereka yang hidup di abad ke-20 nampaknya mulai mengakui eksistensinya. Tetapi mereka juga masih berbeda; sebagian mereka memandangnya sebagai saduran dari filsafat sebelumnya, sementara yang lain mengakui sebagai produk orang-orang Islam. G.T. Tennemann (wafat 1719) mengemukakan bahwa kegiatan-kegiatan untuk mempelajari filsafat di kalangan bangsa Arab mengalami berbagai rintangan sehingga karya mereka tidak dapat diperhitungkan sebagai hasil karya sendiri. Ada empat faktor yang menyebabkan mereka tidak dapat berfilsafat sendiri, yakni: (1) kitab suci al-Qur'an menghalang-halangi kebebasan berpikir, (2) kepanatikan golongan Ahlu s-Sunnah, (3) keterpakuan pada pikiran-pikiran Aristoteles padahal sesungguhnya pikiran-pikiran Aristo itu tidak dapat dipahaminya dengan tepat, (4) tabiat mereka yang condong kepada angan-angan. Demikian Tennemann menjelaskan.
Menurut Gauthier bahwa keadaan bangsa Semit yang digambarkan tersebut di atas sebenarnya timbul karena faktor-faktor dari luar, yakni faktor lingkungan di mana mereka hidup.
                        Max Horten (1908), melangkah lebih jauh lagi. Ia tidak mengikutsertakan persoalan Semit dan Aria. Dikatakannya bahwa, berbicara tentang filsafat Islam tidak sewajarnya bila dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal sebagai kelompok filosof saja, melainkan harus Pula diikutsertakan karya- karya mutakallimin. Pikiran-pikiran mereka, terutama menyangkut pembahasan- pembahasan mengenai keadaan wujud dan pengenalan terhadap alam telah mendahului pandangan kelompok filosof tersebut.[5]



BAB III
KESIMPULAN

          Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Orientalis adalah golongan sarjana-sarjana barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia timur dan kesastraannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya, dan ilmu-ilmunya .

Daftar Pustaka
1.    Agus salim & mohd. Arifullah (Sikap Calon Intelektual Muslim terhadap orientalisme: respons mahasiswa prodi KPI fakhultas ushuludin IAIN STS Jambi) Media Akademika, Vol. 27, No. 4, oktober 2012.
2.    A Muhammad Bahar  ( Orientalis dan Orientalisme dalam prespekti sejar), ilmu budaya  volume 4, Nomor 1, Juni 2016, ISSN 2354-7294)
3.    Hanafi. A, (orientalisme ditinjau menurut kacamata agama(qur’an dan hadist), (Jakarta:pustaka al husna,198)
4.    Ibrahim Madkour, filsafat islam (jakarta: PT rajagrafindo persada,1988)



[1] A.hanafi, orientalisme ditinjau menurut kacamata agama(qur’an dan hadist) (Jakarta:pustaka al husna,198) hlm 9
[2] Madkour,Ibrahim, filsafat islam (jakarta: PT rajagrafindo persada,1988) hal15-17
[3] Agus salim & mohd. Arifullah (Sikap Calon Intelektual Muslim terhadap orientalisme: respons mahasiswa prodi KPI fakhultas ushuludin IAIN STS Jambi) Media Akademika, Vol. 27, No. 4, oktober 2012.
[4] Muhammad Bahar A ( Orientalis dan Orientalisme dalam prespekti sejarah), ilmu budaya  volume 4, Nomor 1, Juni 2016, ISSN 2354-7294)
[5] Syam,basir “PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG EKSISTENSI FILSAFAT ISLAM” 2017, Hlm 27-28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar