BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Orientalisme
Orientalisme
berasal dari kata prancis “orient” yang berarti “timur”. Kata orientalisme
berarti ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia
timur. Orang-orang yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut
orientalis atau ahli ketimuran. Orientalis ialah segolongan sarjana-sarjana
barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia timur dan kesastraannya, dan mereka juga
menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat
istiadatnya, dan ilmu-ilmunya[1]
. Apa yang kita
lihat dikalangan sejarahwan barat pada abad ke 18 dan tahun-tahun pertama abad
ke19 ketika member catatan terhadap barat dan peradaban arab secara umum,
merupakan pengambilan dari sumber-sumber latin. Sedangkan orang timur sendiri
tidak mampu, karena mereka terbelenggu dengan persoalannya, untuk menghidupkan
Ajaran-ajaran meraka dan tidak mampu untuk membangkitkan warisan
mereka sendiri. Pada perempatan pertama dari abad ini gerakanorientalisme
mengadakan aktivitas yang besar, yakni: i) dengan berangkatnya sebagian ilmuan
barat ketimur ii) melakukan study di perguruan-perguruan timur iii) berhubungan
secara dekat dengan kehidupan pemikiran dan spiritualitas timur. Pengaruh
orientalis di kalangan orang-orang barat tidak hanya berhenti disini, bahkan
menjalar sampai ketimur. Maka banyak orang timur : i) mengambil
pendapat-pendapat mereka ( barat), ii) menerjemahkan sebagian buku-buku mereka,
iii) mulai terpengaruh oleh langkah mereka bahkan mengambil alih peranan dalam
menghidupkan kejayaan mereka. Pada perempatan abad terakhir ada gejala, baik di
mesir atau di ibukota-ibukota timur yang lain, lahirnya : i) studi-studi yang
meniru langkah yang dilakukan oleh para orientalis ii) meneyempurnakan apa yang
telah mereka mulai, atau iii) menemukan sebagaian hal yang mereka hilangkan.[2]
B.
Sejarah Lahirnya Orientalisme
Ø Perang Salib
Perang salib antar umat islam Timur daan
Kristen Barat (1096-1270. Hubungan antara Barat dan Islam saat itu terjalin
lebih intens walaupun dalam bentuk yang tidak mengenakkan, yaitu peperangan
yang berjalan secara berantai. Namun sisi positif dari hubungan tersebut
dirasakan oleh orang Barat, semangat ilmiah mereka muncul oleh kekaguman mereka
yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam, yang
sebenarnya di luar dugaan mereka. Semangat inilah yang mendorong upaya
penerjemahan berbagai literatur keilmuan Islam dalam bahasa Latin secara
besar-besaran. Karena informasi yang
faktual dan pengalaman tertentu dalam hubungan keduanya pemahaman Barat
terhadap umat Islam pada periode ini berubah menjadi faktual. Orang Barat
secara mulai mengenal dan mengagumi prinsip keilmuan Islam, terutama di bidang filsafat
dan ilmu alam.[3]
Ø Fase Perkembangan Orientalisme
a.
Fase
pertama : Missionaris & Anti Islam (dimulai abad 16). Pada fase ini
orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori
oleh Yahudi dan Kristen. Gerakan
ini merupakan reaksi terhadap substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali
telah membeberkan kerancuan kedua agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropa
Kristen dalam perang Salib juga memicu semangat anti Islam ini. Gerakan ini
sejalan dengan misionaris.Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa, Jean
Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim bahwa Nabi Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak
jujur, pelaku sodomi, dan seabagainya.
b.
Fase
kedua : Kajian dan Cacian (abad ke 17 dan 18 M). Fase kedua ini terjadi
bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana
Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah
raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala
macam informasi tentang ketimuran. Sebagai contoh Erpernius (1584-1624),
menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti oleh Jacob Goluis
(1596-1667), dan Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Bedwell W
(1561-1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang
sejarah hidup Nabi Muhammad. G sale (1677-1736) penterjemahan Al-Quran tahun
1734 menulis Muhammad adalah pembohong dan Islam adalah agama palsu. Edward
Gibbon (1737-1794) menulis bahwa Muhammad adalah “Pembohong dan pada hari-hari
terakhirnya cenderung pada seksualitas dan individualistis”.
c.
Fase
ketiga: Kajian & Kolonialisme(abad ke- 19 dan ¼ pertama abad ke- 20M). Fase
ini bersamaan dengan era kolonialisme Barat ke negara-negara Islam dalam bidang politik, militer, kultural dan
ekonomi. Tidak sedikit
pula dari karya-karya berbahasa Arab dan Persia diedit dan diterjemahkan lalu
diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri
Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Periode ini juga
ditandai dengan lahirnya pusat-pusat
studi Keislaman. Tahun 1822 didirikan Society Asiatic of Paris, di Paris.
d.
Fase keempat: Kajian &Politik (paruh ke 2
abad ke 19). Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian yang populer. Kajian itu
bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untukkepentingan
perancang kebijakan politik dan juga bisnis. Pada fase ini kajian orientalisme
berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut.
Beberapa contohnya adalah Cantwell Smith, On Understanding IslamSelected
Studies, the Hague, 1981, 296) yang menerima pendapat bahwa wahyu adalah
gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi baginya, Islam perlu menafsirkan
ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. Sir Hamilton Gibb juga
menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad,
namun Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi
(Pre-Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Theological Review, 55, 1962, 269).
Abdel-Malek, (Palestina), menyatakan bahwa kemerdekaan paska Perang
Dunia II menghasilkan krisis pada orientalisme sebab materinya sangat Eropah
sentris dan perlu direvisi.
Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang
kebudayaan Arab dan Islam. Meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa
interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Apa saja yang
dikatakan oleh orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan
etnocentris. Sebab, Barat memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.
Sikap rasial itu merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras,
filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Ringkasnya, kajian
Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme
dan persengketaan kultural (cultural hostility). [4]
C.
Orientalis terhadap filsafat islam
Barat (orientalist) berbeda pendapat dalam menganalisa eksistensi
filsafat Islam. Pada umumnya orientalist abad ke-19 menolak adanya filsafat
itu, sedang mereka yang hidup di abad ke-20 nampaknya mulai mengakui
eksistensinya. Tetapi mereka juga masih berbeda; sebagian mereka memandangnya
sebagai saduran dari filsafat sebelumnya, sementara yang lain mengakui sebagai
produk orang-orang Islam. G.T. Tennemann (wafat 1719) mengemukakan bahwa
kegiatan-kegiatan untuk mempelajari filsafat di kalangan bangsa Arab mengalami
berbagai rintangan sehingga karya mereka tidak dapat diperhitungkan sebagai hasil
karya sendiri. Ada empat faktor yang menyebabkan mereka tidak dapat berfilsafat
sendiri, yakni: (1) kitab suci al-Qur'an menghalang-halangi kebebasan berpikir,
(2) kepanatikan golongan Ahlu s-Sunnah, (3) keterpakuan pada pikiran-pikiran
Aristoteles padahal sesungguhnya pikiran-pikiran Aristo itu tidak dapat
dipahaminya dengan tepat, (4) tabiat mereka yang condong kepada angan-angan. Demikian
Tennemann menjelaskan.
Menurut Gauthier bahwa keadaan bangsa Semit yang digambarkan
tersebut di atas sebenarnya timbul karena faktor-faktor dari luar, yakni faktor
lingkungan di mana mereka hidup.
Max Horten (1908), melangkah lebih jauh lagi. Ia tidak
mengikutsertakan persoalan Semit dan Aria. Dikatakannya bahwa, berbicara
tentang filsafat Islam tidak sewajarnya bila dibatasi obyek persoalannya pada
pikiran-pikiran yang dikenal sebagai kelompok filosof saja, melainkan harus
Pula diikutsertakan karya- karya mutakallimin. Pikiran-pikiran mereka, terutama
menyangkut pembahasan- pembahasan mengenai keadaan wujud dan pengenalan
terhadap alam telah mendahului pandangan kelompok filosof tersebut.[5]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Orientalis adalah golongan sarjana-sarjana barat yang mendalami
bahasa-bahasa dunia timur dan kesastraannya, dan mereka juga menaruh perhatian
besar terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya, dan
ilmu-ilmunya .
Daftar Pustaka
1.
Agus salim & mohd. Arifullah (Sikap
Calon Intelektual Muslim terhadap orientalisme: respons mahasiswa prodi KPI
fakhultas ushuludin IAIN STS Jambi) Media Akademika, Vol. 27, No. 4,
oktober 2012.
2.
A Muhammad Bahar ( Orientalis dan Orientalisme dalam prespekti
sejar), ilmu budaya volume 4, Nomor
1, Juni 2016, ISSN 2354-7294)
3.
Hanafi. A, (orientalisme ditinjau
menurut kacamata agama(qur’an dan hadist), (Jakarta:pustaka al husna,198)
4.
Ibrahim Madkour, filsafat islam
(jakarta: PT rajagrafindo persada,1988)
[1] A.hanafi, orientalisme ditinjau menurut kacamata agama(qur’an dan
hadist) (Jakarta:pustaka al husna,198) hlm 9
[3] Agus salim & mohd.
Arifullah (Sikap Calon Intelektual Muslim terhadap orientalisme: respons
mahasiswa prodi KPI fakhultas ushuludin IAIN STS Jambi) Media Akademika, Vol.
27, No. 4, oktober 2012.
[4] Muhammad Bahar A (
Orientalis dan Orientalisme dalam prespekti sejarah), ilmu budaya volume 4, Nomor 1, Juni 2016, ISSN 2354-7294)
[5] Syam,basir “PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG EKSISTENSI FILSAFAT ISLAM”
2017, Hlm 27-28